Header Ads

Merawat dan Mensyukuri Kemerdekaan

"Wong atas'e kerja bakti sepisan ae, ngrayakno pitulasan pisan ae sik sambatan, wong yo gak melok berjuang geleceran getih kok yo angel temen metu omah kerja bakti. Cek nemen'neeee..." (Wong ya kerja bakti sekali saja, merayakan hari kemerdekaan 17 Agustus sekali setahun saja kok mengeluh. Wong ya tidak ikut berjuang bergelimang darah kok ya susah banget ikut kerja bakti. Kebangeten banget. pen.). Ungkapan ini terlontar dari salah seorang peserta kerja bakti yang mengomentari beberapa orang tidak ikut keluar gotong royong membersihkan lingkungan.

Merayakan hari kemerdekaan 17 Agustus adalah kegiatan rutin di seluruh penjuru tanah air Indonesia. Dari anak-anak hingga mereka yang lanjut usia terlibat dalam menyemarakkan hari kemerdekaan ini. Sudah tak terhitung berapa jumlah orang, tenaga, biaya, dan waktu yang dihabiskan untuk sekadar merayakan kegembiraan tahunan ini.

Tapi, perayaan  kemerdekaan ini tak sebanding dengan perjuangan para pendiri republik ini yang dari generasi ke generasi memperjuangkan kemerdekaan, mengobarkan semangat perlawanan terhadap penjajahan fisik bangsa lain. Para pejuang dan pahlawan perintis, pendiri, dan pejuang kemerdekaan jauh lebih menderita dibandingkan dengan siapapun saja yang hidup setelah era kemerdekaan. Tidak ada penderitaan yang dialami seberat dan sepanjang nenek moyang bangsa Indonesia menghadapi penjajahan fisik.

Tidak ada kata lain bagi penerus bangsa selain merawat dan melestarikan kemerdekaan ini. Mensyukuri hidup yang jauh dari penderitaan fisik kolektif yang berkepanjangan. Merayakan kemerdekaan meski hanya salah satu bentuk syukur dan merawat kemerdekaan ini, tapi itu bentuk paling nyata ekspresi terima kasih kita pada nenek moyang pejuang pendiri Indonesia.

Sayangnya, seperti kalimat pembuka di atas, meski sederhana dan lahir dari ungkapan kecewa dari seorang kawan yang menangkap adanya rasa acuh dan cuek terhadap lingkungannya, dia menyayangkan betapa tidak bersyukurnya kita atas keadaan yang kita nikmati saat ini. Kebetulan kawan saya yang satu ini memang tidak menyorot pada mereka yang sedang menjalankan kewajiban bekerja menafkahi keluarga, tapi mengungkapkan kekesalannya pada mereka yang memang sedang menganggur di rumah dan tidak keluar berkumpul bersama membersihkan dan menghias lingkungan.

Tak berhenti hanya pada itu saja, kawan saya ini pun berkata bahwa semua orang punya kesibukan kerja, secapek-capeknya dia bekerja shift malam, masih menyempatkan diri untuk muncul di ramainya kerja bakti, sekadar ikut merayakan kebersamaan yang tumpah ruah di minggu pagi yang cerah itu.

Secara personal saya memakluminya, meski dalam hati saya pun mengiyakan kecewanya. Meskipun mengiyakan, saya hanya bisa mendoakan agar yang bersangkutan diberi kesadaran, dibuka hatinya, dilapangkan jiwanya agar bisa memaknai dan mensyukuri atas semua nikmat yang sudah melimpah diterimanya.

Selamat merayakan kemerdekaan...
Selamat mensyukurinya...
Selamat melapangkan dan memerdekakan jiwa...

Merdekaaaaaaa....!!!































Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.