Mondok Sampek Rabi, Ngaji Sampek Mati
Sistem pendidikan tertua yang terlembaga dan turun temurun sejak nenek moyang di negeri ini sepertinya hanya pondok pesantren saja yang tersisa. Atau mungkin memang hanya pondok pesantrenlah lembaga pendidikan yang ada sejak dulu kala?
Terlepas dari pertanyaan di atas, pondok pesantren merupakan tempat mempelajari ilmu agama yang dulunya juga sekaligus mempelajari ilmu kemasyarakatan dan keterampilan dalam pemenuhan kebutuhan hidup di dunia. Contoh mudahnya, Pesantren Tebuireng pertama kali didirikan oleh K.H. Hasyim Asy'ari, beliau mengajarkan kemandirian pada santrinya dengan mengajak bertani, mengelola hasilnya yang hampir sebagian besarnya untuk menghidupi pesantren. Dari bercocok tanam, merawat, memanen, mengolahnya, menyimpannya, menjualnya, itu semua ilmu dunia. Bagaimana mengkombinasikan ilmu dunia dan ilmu akhirat dalam pesantren, Tebuireng masa lalu pernah melakukannya.
Jika ada kalimat canda "Mondok Sampek Rabi, Ngaji Sampek Mati" (Belajar dan Tinggal di Pondok Sampai Menikah, Mengaji Sampai Akhir Usia, pen), maka itu dikarenakan budaya menuntut ilmu agama yang ditanamkan orang tua dan ustadz/ah melekat kuat hingga tak ingin meninggalkan pondok hingga menikah. Maklum, kalau sudah menikah tidak boleh tinggal di pondok. Akan tetapi masih diijinkan menuntut ilmu atau mengajarkan ilmunya di dalam pesantren. Budaya pengabdian pada almamater pada kyai pada agama acapkali menjadikan beberapa santri terbaik terus mengabdi setelah kesantriannya teruji.
Tak jarang, santri terbaik diambil pak kyai jadi menantunya. Tak jarang pula santriwati pun demikian adanya, jadi menantu pak kyai. Tak sedikit pula yang ketemu jodoh di pesantren. Santri berjodoh santriwati. Klop sudah. Lalu, keduanya tinggal di dekat pesantren. Mengajar rutin di sana pula sembari membuka kelas khusus di rumah. Sekaligus menjadi pelayan masyarakat sekelilingnya dalam urusan agama juga dunia.
Sementara yang satu dan beberapanya setia pada pesantren, sisanya yang sebagian besar kembali ke lingkungannya, menjadi penerang bagi masyarakatnya. Membuka kajian dan mengamalkan ilmunya.
Yang lainnya, mengimplementasikan ilmunya untuk diri dan keluarganya. Meski tidak menjadi penerang bagi lingkungannya yang lebih besar, bagi keluarganya ilmunya sudah sangat bermanfaat.
Jika sudah demikian, ngaji sampek mati memang benar adanya.
Post a Comment