Datarnya Sang Presiden
Sejak era reformasi, sudah ada pergantian presiden paling tidak lima sosok hebat. B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan terakhir Joko Widodo. Kelimanya figur sipil kecuali Pak SBY. Kelima-limanya saya menaruh hormat dan menjaga kehormatan beliau-beliau selaku Presiden Republik Indonesia, simbol kehormatan bangsa.
Dari kelima presiden tersebut, meski ada kurang dan lebihnya, saya memilih diam tanpa suara manakala ada kebaikan atau keburukan yang mengemuka. Di luar semua kewajaran, Abdurrahman Wahid punya keunikan dan kesederhanaan yang tak bisa mudah dilupakan, sangat berbeda dengan presiden sebelumnya. Lalu, kini ada Joko Widodo yang lugas-datar dan sederhananya memberi ruang baru untuk bercermin.
Dari banyak presiden, yang mengikat emosi saya adalah kesederhanaan yang tidak basa-basi baik yang terlalu basa atau terlalu basi. Seperti halnya Soekarno Sang Putera Fajar, Joko Widodo menorehkan tinta emasnya untuk pemuda Indonesia. Beliau katakan, bangsa ini butuh pemuda yang jujur, berani, dan tegas.
Ucapan itu jelas wajar dan biasa saja, tak ada yang istimewa, seperti halnya para guru yang setiap harinya mem"fatwa"kan kejujuran dalam menjalani ujian/ulangan. Seperti halnya para orang tua yang "memaksakan" berani anak-anaknya untuk bertindak berperilaku bergaya dewasa dalam pengembangan bakat anaknya. Atau seperti halnya teman-teman senior yang "sok" tegas di tengah proses ospek sementara ke-alay-annya berkibar melambai sepanjang hari.
Pesan bapak presiden itu sangat wajar dan standar, tak ada yang istimewa. Terutama bagi kalangan santri pesantren di mana kalimat itu beliau lontarkan. Apanya yang istimewa? Toh, itu tiap hari digemakan digaungkan oleh pengurus pondok, dewan asatidz, pengasuh pesantren, hingga kyai besarnya. Serius itu bukan kalimat istimewa yang bisa dijadikan Quote of The Day.
Saya tak hendak menyepelekan seorang presiden, sama sekali tidak. Justeru saya berbaik sangka kepada Bapak Jokowi. Selera humornya berkelas. Tampaknya beliau sedang bermain karambol. Iya, betul bahwa itu pernyataan ditujukan pada para pemuda harapan bangsa, lokasinya pun di tengah lingkungan yang menyuburkan dan melestarikan kebaikan dalam bentuk kejujuran, keberanian, dan ketegasan.
Saya berbaik sangka bahwasanya pernyataan itu ditujukan ke orang-orang yang ada di kanan kirinya dalam menjalankan roda pemerintahan. Karena substansi pernyataan beliau jauh lebih terasa istimewa, jauh terdengar tidak retorika belaka dan menemukan kedalaman maknanya saat itu: dilontarkan di lingkungan yang melestarikan ketidakjujuran dipenuhi tipu muslihat dan kepura-puraan. Disampaikan dengan penuh keberanian di lingkungan yang merawat dan mengagungkan penghambaan pada kepentingan-kepentingan, pengamanan atas posisi dan jabatan-jabatan, yang sejatinya merawat ketakutan demi ketakutan pada kehilangan demi kehilangan. Di"proklamasi"kan penuh ketegasan yang datar pada karut marutnya nilai yang dijunjung, pada hukum yang tidak berkeadilan.
Jika saja benar bahwa Pak Presiden sedang bermain karambol, saya sangat bersyukur. Jika tidak pun, saya juga tetap bersyukur. Dikaruniai presiden yang setidaknya di mata saya lebih jujur dari sekian pemimpin yang ada, jauh lebih berani dan tegas dari lulusan militer sekalipun. Berani menggelar rapat di atas kapal perang dan mengirim sinyal keberanian melawan raksasa.
Tidak pernah saya merasakan keberanian seorang presiden sevulgar ini dan semenggugah ini. Tidak pernah kecintaan pada bangsa dan negara terusik oleh seorang presiden semenggeliat ini. Pencitraannya di atas dek kapal itu menjadi WAJIB hukumnya.
Meski jujur, berani dan tegasnya tetap dengan nada dasar yang sama datarnya dan sama sederhananya. Seperti kalimat-kalimat lain dalam pidato-pidato yang lain. Sangat biasa.
Saya tak sedang memuji atau menghujat. Sedatar nada pak presiden, sedatar itu pula kalimat saya. Sedatar itu pula rasa bangga saya padanya saya ungkapkan.
Aku bangga padamu, Pak Presiden.
Aku bangga menjadi Indonesia.
Post a Comment